Akumulasi Jaringan Makna

Angkasatria
4 min readJan 13, 2021

--

A highlight from Homo Deus by Yuval N. Harari

Orang kesulitan memahami ide tentang “tatanan yang diimajinasikan” karena mereka berasumsi bahwa hanya ada dua jenis realitas: realitas objektif dan realitas subjektif. Dalam realitas objektif, sesuatu ada secara independen dari keyakinan dan perasaan kita. Gravitasi, misalnya, adalah sebuah realitas objektif. Ia ada jauh sebelum Newton, dan berdampak pada orang yang tidak memercayainya sebagaimana ia berdampak pada orang-orang yang memercayainya.

Sebaliknya, realitas subjektif bergantung pada keyakinan dan perasaan personal. Misalnya, saya merasakan nyeri yang hebat di kepala dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa saya dengan teliti, tetapi tak menemukan masalah apa pun. Maka, dia mengirim saya untuk melakukan tes darah, air seni, DNA, X-ray, electrocardiogram, scan fMRI, dan berbagai prosedur lainnya. Ketika hasilnya keluar, dokter memberitahu bahwa saya sehat wal afiat dan bisa kembali ke rumah. Namun, saya masih merasa nyeri hebat di kepala. Sekalipun setiap tes objektif tak menemukan masalah apa pun pada saya, dan meski tak seorang pun kecuali saya yang merasakan nyerinya, bagi saya nyeri tersebut seratus persen riil.

Sebagian orang menyangka bahwa sebuah realitas itu mesti objektif atau subjektif, dan tidak ada opsi ketiga. Karena itu, ketika mereka yakin dengan pemahamannya bahwa ada sesuatu yang bukan hanya perasaan subjektifnya sendiri, ia langsung menyimpulkan bahwa itu pasti objektif. Jika banyak orang percaya kepada Tuhan; jika uang membuat dunia bersatu; dan jika nasionalisme memulai perang dan membangun imperium, maka hal-hal ini tidak hanya keyakinan subjektif. Karena itu, Tuhan, uang, dan negara pasti realitas objektif.

Tetapi, ada level realitas ketiga: level intersubjektif. Entitas intersubjektif bergantung pada komunikasi di antara banyak manusia, bukan pada keyakinan dan perasaan individual. Banyak dari pelaku-pelaku sejarah yang paling penting di dunia adalah realitas intersubjektif. Uang, misalnya, ia tak punya nilai objektif. Kita tak bisa memakan, meminum, atau mengenakan satu lembar uang kertas. Namun, selama miliaran orang percaya pada nilainya, kita bisa menggunakannya untuk membeli makanan, minuman, atau pakaian. Jika tukang roti tiba-tiba kehilangan kepercayaannya pada uang dolar, dan dia tak mau memberi saya sepotong roti dengan lembaran kertas hijau ini, itu tak akan berarti apa-apa. Saya bisa langsung berjalan beberapa blok ke pasar swalayan terdekat. Namun, jika kasir pasar swalayan tak mau menerima lembaran kertas itu, di samping para pedagang di pasar, dan seluruh penjual di mal dan toko kelontong yang tersebar, maka dolar itu telah kehilangan nilainya. Lembar kertas hijau itu akan tetap ada, tentu saja, tapi tak berarti apa-apa.

Hal semacam itu sesungguhnya terjadi dari waktu ke waktu. Pada 3 November 1985, pemerintah Myanmar secara tak terduga mengumumkan bahwa uang nominal 25, 50, dan 100 kyat tidak berlaku lagi. Orang-orang tak diberi waktu untuk menukar uang-uang tersebut, dan tabungan selama hidup mereka tiba-tiba berubah menjadi tumpukan kertas tak berharga. Untuk menggantikan uang-uang yang tak laku lagi itu, pemerintah memperkenalkan uang baru pecahan 75 kyat, yang diduga untuk menghormati hari ulang tahun ke-75 sang diktator Myanmar, Jenderal Ne Win. Pada Agustus 1986, uang-uang pecahan 15 kyat dan 35 kyat diterbitkan. Rumor beredar bahwa sang diktator yang punya kepercayaan kuat pada numerologi, percaya bahwa 15 dan 35 adalah angka keberuntungan. Angka-angka itu membawa keberuntungan kecil bagi urusan-urusannya. Pada 5 September 1987, pemerintah tiba-tiba menetapkan bahwa semua uang pecahan 35 dan 75 tak berlaku lagi.

Nilai uang bukan satu-satunya hal yang bisa menguap begitu orang berhenti memercayainya. Hal yang serupa juga berlaku pada hukum negara, sosok panutan, bahkan imperium. Pada satu saat, mereka sibuk membentuk dunia, dan pada saat berikutnya mereka tidak ada. Zeus dan Hera pernah menjadi kekuatan penting di daratan Mediteran, tetapi kini tak punya otoritas sama sekali karena tak ada orang yang memercayainya. Uni Soviet dulu pernah memungkinkan untuk mengultimatum seluruh ras manusia, tetapi ia tidak eksis lagi berkat sebuah goresan pena pada 8 Desember 1991 pukul 14.00 siang di sebuah wisma negara dekat Viskuli, ketika para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarusia menandatangani Perjanjian Belovezha, menyatakan, “Kami, Republik Belarusia, Federasi Rusia dan Ukraina, sebagai negara-negara pendiri Uni Soviet Socialist Republic yang menandatangani perjanjian Unio tahun 1922, dengan ini menyatakan bahwa USSR tunduk pada hukum internasional, dan sebagai sebuah realitas geopolitik telah mengakhiri eksistensinya”, dan begitulah tak ada lagi Uni Soviet.

Relatif mudah untuk menerima bahwa uang adalah sebuah realitas intersubjektif. Sebagian besar orang juga senang mengakui bahwa dewa-dewa Yunani kuno, imperium-imperium bersejarah, dan nilai-nilai budaya asing ada hanya dalam imajinasi. Meskipun demikian, kita tidak ingin menerima bahwa hukum kita, negara kita, atau nilai-nilai kita hanya fiksi belaka karena semua hal ini memberi makna bagi kehidupan kita. Kita ingin percaya bahwa kehidupan kita memiliki makna objektif, dan bahwa pengorbanan kita berarti untuk sesuatu di luar cerita-cerita dalam kepala kita. Meski demikian, kehidupan sebagian besar orang memiliki makna hanya dalam akumulasi jaringan cerita-cerita yang saling mereka sampaikan.

Pun termasuk tulisan yang baru saja saya ceritakan.

--

--