03. Pendakian Tebing Legendaris — A Quick Trip to Samsun

Angkasatria
8 min readMay 9, 2021

--

“Sumpah ya, kalo gua bilang, destinasi yang paling bagus selama gua jalan-jalan di Turki ini, ya Vezirkopru ini. Lo nggak akan nyesel deh Ji”, kata Rusydi si mahasiswa ekstensi, yang kerjaannya kalau nggak rapat tiap hari, jalan-jalan keliling Turki. “Beneran nih Di? Se-worth it itu emang?” ujar saya memastikan. “Asli dah, percaya lu sama gua”.

Saya bukannya tidak percaya sih. Justru sekedar lihat dari Google saja sudah sangat meyakinkan bahwa tempat ini wajib masuk ke dalam bucket list travelling saya. Siapa yang tidak tergoda berlayar di atas kapal, di tengah sungai biru yang diapit tebing-tebing karang tinggi? Dan, dari percakapan itulah, tekad saya untuk mengunjungi Samsun semakin bulat.

Pagi itu kami baru bangun pukul 8.00, setelah berleha-leha sesampainya di apartemen semalam menunggu antrian mandi yang ngaret, ditambah percakapan ngalor-ngidul kami tentang siapa yang pernah paling lama nggak mandi, kami semua baru benar-benar terlelap setelah lewat pukul 2 pagi. Awan membangunkan kami dari balik pintu, memberitahu kami bahwa sarapan sudah siap. Rasanya saya berat sekali untuk mengangkat kaki menuju kamar mandi, padahal dua toilet kosong tak berpenghuni dan semua orang di kamar sudah mulai rapi-rapi. Setelah mengumpulkan nyawa yang cukup, akhirnya saya berdiri dan berjalan, tapi berbelok di depan pintu dapur menuju meja makan.

“Makan makan Zi”, Awan yang masih merapikan bekas masakan menyapa saya dan mempersilahakan untuk santap duluan. Saya mengambil setangkup roti dan mengisinya dengan ayam tumis sambal hijau semalam. Sambil menuangkan teh ke dalam gelas, saya memulai basa-basi, “lu di Indonya dimana deh Wan?”, kata saya menanyakan asalnya, karena kami belum benar-benar saling mengenal sebelumnya. “Gue sama kayak Asad di Indonya, dari Palembang,” jelasnya. “Oalah…” ujar saya padanya. “Jadi lu ya yang temennya Asad?” Kata Awan balik bertanya. Asad muncul dari balik pintu dapur kemudian dan ikut bergabung bersama kami. “Emang sejak kapan kita temenan Sad?” Saya lempar kembali pertanyaan Awan pada Asad yang baru bergabung di meja makan, “Iya, nggak tau. Emang kita temenan ya Ji?”, “Iya gua juga nggak tau” jawab saya menimpali.

Kami baru meninggalkan apartemen setelah hampir pukul 9.30, membawa barang seperlunya untuk perjalanan hari ini. Petualangan kami diawali dengan berjalan kaki sekitar lima menit menuju pemberhentian bis terdekat, menunggu bis dalam kota yang akan membawa kami menuju otogar Samsun. Dari durak bis sampai ke otogar Samsun tidak begitu terasa karena saya sembari mendengarkan cerita Asad mengenai tips untuk travelling ke Georgia melalui jalur darat (saya akan masukan ini ke dalam bucket list selanjutnya).

Lima belas menit berselang, kami sampai otogar, dilanjutkan dengan menaiki sebuah elf dolmuş yang mengantar kami menuju pemberhentian berikutnya. Kali ini lumayan lama, kurang lebih dua setengah jam sampai akhirnya tiba di otogar berikutnya. (otogar: terminal dalam bahasa Turki). Dua setengah jam tadi tak terasa sebenarnya karena saya terlelap selama perjalanan, mengambil jatah tidur malam yang kurang sepertinya.

Kamipun sampai di otogar kedua. “Keluar dulu yuk, cari makan siang kali kita.” ajak Awan pada kami semua. Diluar sudah terik ternyata, jam di layar handphone memang sudah menunjukkan lewat pukul 2. Setelah istirahat, solat zuhur, dan membeli beberapa camilan, Ammar dan Haikal bermain mesin adu tinju sebentar, menunggu Asad bertanya pada supir taksi di sekitar.

Jadi, dari otogar ini kita perlu menempuh perjalanan lagi sampai ke titik lokasi. Opsinya cuma dua, kalau tidak menyewa mobil seharian, dengan harganya di kisaran 200 TL per hari, kita naik taksi. Sebenarnya dulu ada sih bis dalam kota yang rutenya kesana, kata Asad. Tapi entah kenapa ditiadakan. Jadi akhirnya cuma mereka yang membawa mobil pribadi atau penduduk sekitar sini yang berkunjung. “Padahal bukannya destinasi Vezirkopru ini justru yang jadi daya tarik buat wisatawan ya? Dinas pariwisatanya gimana sih”. Kata saya sok mengkritisi.

“Jadi gimana Sad?”, tanya Ammar memastikan. “Kita naik ini guys”, seru Asad sambil menunjuk ke arah mobil kuning yang terpakir tak jauh dari kami. “250 TL dia mintanya, tapi nanti ditungguin sampai sana, jadi kita pulangnya bareng dia juga” jelasnya. “250 bagi lima kan? Oke, gas lah”, saya menyetujui.

Kami langsung menempati kursi di dalam mobil dua saf ini, berebut kursi pinggir dekat jendela. “Siapa yang di depan?” Tanya Ammar. “Elu lah, lu gendut,” jawab Haikal. Spontan, tanpa dosa. “Yehehe, sial!” Kata Ammar sambil pasrah pindah ke kursi depan. “Kalau ada barang-barang, taruh di belakang aja, biar nggak sempit” kata sang supir. “Semua aman ya?” katanya memastikan. “Ada yang mau nyetel lagu? Boleh disambungin nih hp nya kesini” Ia menawarkan. Semua menunjuk saya untuk menyetel playlist ke speaker mobil. Dengan senang hati. Tak lama kemudian, lagu Hindia dengan band debutnya sudah menggema di dalam taksi, mengantarkan kami berkendara menuju destinasi!

Lagu Hati dan Paru-paru mengawali perjalanan kami, mengiringi pemandangan hamparan rumput hijau, kuning, hingga coklat. Gapura kayu bertuliskan ‘Selamat Datang di Vezirkopru’ baru saja kami lewati. Beberapa kawanan hewan ternak terlihat di kejauhan, nampaknya beberapa sapi sedang digembalakan oleh pemiliknya, di samping kincir angin yang menjulang tinggi, digerakkan oleh semilir angin untuk memasok listrik perumahan kecil sekitarnya. Saya buka jendela setengah untuk ikut merasakan semilirnya. Sungguh gambaran desa yang sempurna bukan? Damai, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.

Selama satu setengah jam kami disuguhi pemandangan yang sama sekali tidak membosankan. Tak lama setelahnya, jalur yang kami lewati mulai menanjak, memasuki hutan pinus yang tumbuh di sisi-sisinya. Jalanan terus menanjak, berbelok sedikit kemudian menanjak lagi, sampai akhirnya kami berada di atas ketinggian hingga dapat melihat jalanan berliku yang baru saja dilewati. “Wiiih gilaaa, kayak di GTA!” seru Haikal, terkesima. Iyain aja.

‘kayak di GTA’ — Haikal 2021

Tanjakan pertama membawa kami pada turunan berikutnya, kali ini lebih berliku. Turun sedikit, belok kanan, turun lagi, belok kiri, ulangi lagi. Membentuk jalanan zig-zag yang panjang. Dari balik pepohonan beberapa puncak tebing sudah mengintip, memberikan gambaran sedikit tentang bagaimana penampakan tebing secara keseluruhan. Kami sudah saja excited dibuatnya, karena semua kamera sudah dalam mode merekam sejak turunan pertama, dan semua mata sejak tadi tidak berhenti memandang ke luar jendela.

Sampailah kita di tepi daratan, dimana di depan kami sudah tampak jelas Vezirkopru Sahinkaya Kanyonu, tebing yang ‘legendaris’ itu! Oh, jadi ini… gumam saya, takjub. Kapal-kapal penyeberangan bertengger di tepian, menunggu muatan dan penumpang untuk dibawa ke seberang. “Kita makan siang dulu di sini ya,” kata supir sambil mengeluarkan paket durum dan ayran dari bangku belakang mobil. Kami makan siang dengan pemandangan air biru tosca terbentang di depan. Setelah selesai, taksi yang membawa kami diangkut oleh kapal penyeberangan untuk mencapai daratan seberang.

Kami ikut menaiki kapal menuju ke seberang. Biaya angkut satu kendaraan kami dihargai 70 TL untuk sekali menyeberang. Tebing-tebing kapur yang ditumbuhi belukar diatasnya menjulang dekat jalur penyeberangan. Kalau kata Haikal, ini mirip pulau Labengki di Sulawesi! Jajaran tebingnya membentuk lorong yang menjadi jalur untuk rute kapal tur yang akan kami naiki selanjutnya. Sudah terbayang oleh saya bagaimana bagusnya nanti di tengah sana. Yang lain, tentu saja terus memotret, tidak ada selesainya.

Sampai di seberang, lanjut lagi menanjak. Belum sampai kita ternyata. Untung masih pakai taksi, karena yang ini tanjakannya lebih ekstrim lagi. Jalanan lebih terjal dan berbatu sehingga kami penumpang yang di dalam ikut tergoncang. Kami hampir saja salah rute mengikuti jalanan beraspal, beruntung Awan ingat jalannya, karena terakhir dia kesini malah nyasar. Ia mengarahkan supir untuk berbelok di tikungan tajam menuju tanah bebatuan.

“Yakin kamu jalannya kesini?” kata supir memastikan, karena kalau dilihat wujudnya memang agak meragukan sih. “Iya bener bang, soalnya kalau kesana bukan ke puncaknya”, kata Awan. “Emang kapan terakhir kamu kesini?” kata supir, masih meragukan. “Bulan November bang, inget kok saya jalannya, emang yang ini.” Baiklah, akhirnya supir nurut saja dengan penumpang. Toh kalau salah kami juga yang menanggung resikonya (jauh-jauh kemari, udah deket lagi, eh malah nyasar). Kami dibawa melewati jalanan terjal dengan ranjau-ranjau sapi di jalanan. Agak mengherankan sih sebenarnya, sapi macam apa yang kuat menanjak sejauh ini?

Pemandangan sapi di sepanjang jalan

Benar saja, kawanan sapi sedang digembala tak jauh dari jalan yang kami lalui. Beberapa anjing penjaga menggongong mengikuti jalannya mobil kami dari samping. “Gila keren sih ini tempatnya buat dijadiin syuting video klip,” kata Asad, padahal sudah berkali-kali kesini. Mobil kami pun sampai di sebuah lahan rumput yang cukup lapang dengan pohon besar di tengahnya. “Oke, kita turun di sini,” Asad berseru pada kami. “Kita lanjut jalan kaki ya”. Ia memimpin jalan di depan diikuti kami dari belakang.

Saya mengganti playlist dengan lagu Rendy Pandugo dari album The Journey. Lagu Float In The Sky mengawali perjalanan trekking kami. Salah satu kegiatan favorit saya selama ini, berjalan di alam bersama teman-teman. Sederhana memang, tapi akan selalu berkesan buat saya. Jalanan berkarang dan ranjau sapi yang banyak ditemukan menjadi tantangan tersendiri. Tapi kalau ramai-ramai begini, 30 menit juga mana terasa! Kami sampai di pemberhentian pertama, sebuah dek kayu yang dibuat untuk tempat peristirahatan.

“Hadeh… gimana Ji, capek?” tanya Asad melihat saya duduk saja sedangkan yang lain sibuk berswafoto ria. “Ya… mayan lah” kata saya sambil selonjoran di ujung dek. “Yah, ini mah belom apa-apa cuy, siap-siap aja habis ini lu.” Hahaha, oke. Kita lihat nanti seberapa terjal rute selanjutnya. Setelah foto berlima, kami lanjut berjalan, dan benar saja, ini baru yang namanya mendaki tebing! Karang-karang terjal menjadi rute kami berikutnya. Kaki kami perlu melangkah lebih tinggi untuk menjangkau setapak-setapak karang. Sesekali perlu dengan bantuan pegangan pohon atau batu di kanan dan kiri. Saya masih saja menemukan ranjau sapi disini. Gila! Heran banget saya sapi sakti mana yang bisa mendaki tebing terjal kayak begini. Kami aja yang manusia kewalahan.

Satu tanjakan, lewat. Dua tanjakan, masih lanjut. Yang ke-sepuluh? Kami sudah mulai tercerai-berai. Ada yang di bawah, istirahat sebentar, ada yang masih semangat lanjut mendaki. Si Awan malah paling depan dia lari. Oke, kamu bisa, ayo, kamu pasti bisa. Saya tak mau ketinggalan, ikut lari di belakangnya. Padahal kalau saya menoleh ke samping, pemandangannya sudah luar biasa. Apalagi di atas nanti, pertunjukkan utamanya, yuk bisa yuk. Saya menyemangati diri. Dengan nyawa yang tersisa, saya meraih tangkai pohon untuk membantu saya mendaki karang yang semakin terjal. Di nafas-nafas terakhir, puncak tebing sudah mulai terlihat, lima langkah lagi, dan akhirnyaaa… saya sampai jugaaa!!! Di atas sini! Sungguh sebuah euforia yang luar biasa! Wohooo!!! Gila sih, sensasinya. Seakan mencapai resolusi satu tahun dalam satu pendakian! Sungguh sebuah pencapaian. Semua ngos-ngosan benar-benar terbayar sudah dengan pemandangan di depan mata. Lebih baik saya sertakan potret keindahannya, karena saya tidak dapat mendeskripsikannya lagi dengan kata-kata.

The Legendary ‘Vezirkopru Sahinkaya Kanyonu’

Dua jam berfoto memang tidak terasa, karena spot foto yang keren disini nggak ada habisnya. Mau dari puncak yang manapun juga, tebing karang yang mengapit sungai tosca di tengahnya memang sudah membuat kami amazed dari sananya. Pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Sebenarnya masih banyak cerita kami selepas pulang dari sana. Mulai dari cerita supir yang ternyata seumuran dengan kita, karcis kapal yang hilang, kami tidak jadi berlayar di tengah karang, hingga si supir yang ngedumel karena merasa dikibulin oleh kita yang bilang jarak dari otogar ke rumah kami dekat, padahal 30 menit ada tuh kayaknya. Akhirnya kami turun di lampu merah dekat rumah. Si supir tak sadar kalau ada polisi di dekat sana, jadi katanya kalau ditanya nanti bilang aja kita teman, bukan penumpang. Gubrak! Jangan-jangan belum punya surat izin lagi nih orang.

Ya sudahlah, memang sudah beneran layaknya salah satu teman. Orang dia aja masuk grup Whatsapp kami, saling sharing foto-foto di puncak tadi. Enak bener jadi supir taksi, ikut jalan-jalan seharian, diongkosin lagi. Kapan-kapan kalau mau ke Vezirkopru Sahinkaya Kanyonu, bisa kali telfon dia lagi?

_

--

--