02. Selamat Datang di Utara — A Quick Trip to Samsun

Angkasatria
7 min readMay 1, 2021

--

Kalau dihitung, Samsun ini bakal jadi kota ke-7 yang pernah saya kunjungi selama di Turki setelah Istanbul, Kocaeli, Bursa, Konya, Antalya, dan Ankara. Masih relatif sedikit sih (sedikit sekali malah) untuk ukuran domisili tahun ke-3 saya di negara ini.

Kami tiba di terminal Samsun sekamir pukul 9.00, lebih 2 jam dari yang kami perkirakan. Oh, ini otogarnya… kami sampai bingung mau turun di otogar yang mana karena di Samsun otograrnya ada tiga. Sesampainya di terminal, kami langsung mencari toilet, ATM, dan kursi pijat koin 1 TL-an, melepas lelah setelah duduk di dalam bis berjam-jam.

Saya mengabarkan Asad kalau kami sudah tiba di terminal. Kemudian ia mengarahkan kami untuk berjalan ke pintu keluar dan menaiki dolmuş ke arah Kampüs — Üniversite. Ternyata di setiap kota harga angkutan dolmuşnya berbeda-beda ya. Kami membayar 3.5 TL dan turun di Atatürk Bulvarı. Tapi malah terlewat satu durak pemberhentian dari titik share-loc yang Asad kirim. Walhasil, kami harus berjalan “sedikit”, sekitar 15 menit yang lumayan juga ternyata karena jalannya menanjak dan kami bawa ransel masing-masing (walaupun nggak berat padahal), sampai akhirnya saya bisa melihat Asad melambaikan tangannya dari jendela apartemen di lantai atas.

Sebuah sambutan hangat diberikan pada kami oleh tuan rumah, oleh Awan namanya, pemilik apartemen yang akan kami singgahi selama tiga hari. Dia tinggal bertiga disini, tapi katanya yang satu sedang pulang ke Indonesia, dan yang lainnya lagi sedang berkunjung ke Ankara. Awan mempersilahkan kami bertiga merebahkan badan di kamar yang sudah ia siapkan, sementara ia lanjut memasak untuk makan siang.

Impresi pertama saya tentang kota Samsun, jelas, kota ini lebih besar dari Sakarya. Gedung apartemen di sini bisa 2 hingga 3 kali lipat daripada di sana. Kalau kata Asad, bentuk kota Samsun itu memanjang, sebagaimana kota pesisir pada umumnya. Makanya jalur tramvaynya cuma ada satu, dari barat ke timur menyambung jadi satu. Di perjalanan tadi, saya melihat tebing-tebing bukit dan tepi pantai yang bersebelahan. Kontur alam yang indah, membuat saya langsung membayangkan sepertinya enak juga kota ini untuk dijadikan tempat tinggal. Metropolitan, tapi banyak tempat terbuka, jadi nggak sesak.

Samsun Büyükşehir Belediyesi

Siang itu kami memutuskan untuk pergi keluar. Ajun, seorang teman lainnya yang tinggal di Samsun juga mengajak kami untuk bermain basket di lapangan tepi pantai. Ia membawa bola yang baru saja ia beli kemarin. Nah, ide bagus tuh untuk menikmati sore pertama disini. Setelah meluruskan punggung sebentar, kami bersiap-siap mengganti pakaian dan berangkat menuju lapangan.

Memang pada dasarnya wilayah Samsun ini berbentuk seperti garis lurus, jadi mau kemana pun tujuannya, tempat itu bisa dicapai dengan angkutan tramvay. Satu lagi moda transportasi yang nggak tersedia di Sakarya, yang semakin membuat kami merasa seperti anak dusun yang sedang main ke kota. Karena kami pendatang disini, jadi kami perlu membuat kartu Samsun Ulaşım terlebih dahulu. Semacam kartu transportasi top-up, yang nantinya dapat digunakan untuk membayar bis dan tramvay di dalam kota Samsun. Harganya 10 TL, sudah dengan isi saldo sejumlah 5 TL.

Kami naik dari stasiun Atakent, menuju arah timur jalur tram. Saya melihat beberapa museum di sepanjang perjalanan. Selamat datang di kota Samsun! Sambil melihat ke luar jendela, saya mendengarkan Asad bercerita bahwa kota ini yang menjadi titik awal presiden pertama Republik Turki Mustafa Kemal Ataturk memulai perjuangan perang kemerdekaan. Maka dinamakanlah sebuah daerah dengan nama Ilk Adım, yang artinya langkah pertama. Bunga-bunga tulip tertata rapi di sisi kiri-kanan trotoar jalan, sebagai penanda musim semi yang datang menjelang. Sampai akhirnya tram berhenti di stasiun Baruthane, kami turun dan lanjut berjalan.

“Tuh, ada teleferik juga disini!” Asad menunjuk ke arah kereta gantung yang jalurnya tepat lewat diatas kepala kami. “Mau naik?” Ia menawarkan. “Mau dong, boleh-boleh!” Sahut kami, yang ke-norak-an nya semakin menjadi-jadi. Belum juga sampai ke tempat teleferik yang akan kami naiki, dua ekor patung singa di ujung pantai sudah mencuri perhatian kami. “Eh, itu patung apa Sad?” Tanya saya yang tak dapat membendung rasa penasaran. “Oh… itu Batıpark Aslan Heykeli namanya. Tuh di tengahnya ada patung kesatria Amazon, keliahatan nggak? Nanti kita kesana, oke”. Wah, saya benar-benar semakin excited dibuatnya!

Dari kejauhan kami melihat stasiun teleferik yang, kok tampaknya sepi… seperti tidak beroperasi. Kami melihat ke dalam untuk memastikan. Dan benar saja, sebuah traffic cone ditempatkan di depan pintu masuk otomatis, menandakan pintu stasiun tersebut tak dapat dimasuki. “Mungkin sedang dalam perbaikan ya?”, ujar salah satu dari kami. Yah… sudahlah, mungkin lain kali. Tapi tak apa, kami juga punya rencana lain sore ini. Selain main basket, kami akan bermain skating di arena olahraga terbuka Samsun.

Asad mengajak kami untuk menghampiri Ajun, yang tadi berangkat duluan untuk memastikan harga tiket main skating di arena olahraga. Haikal sempat bertanya, kenapa disini arena olahraganya lengkap sekali? Mulai dari panjat tebing sampai tempat jetski ada semua. Lapangan basket saja ada beberapa dalam satu area. “Oh iya, di sepanjang jalan menuju Samsun juga banyak ikon-ikon olahraga ya?” Saya yang ingat pemandangan patung di jalan tol tadi pagi ikut menimpali. Asad menjelaskan, itu karena Samsun pernah jadi tuan rumah Summer Deaflympics tahun 2017 lalu. “Deaflympics sendiri tuh semacam olimpiade olahraga tingkat dunia gitu, tapi ini diselenggarain khusus untuk para atlet tuli”, tutur Asad melanjutkan.

Di tengah penjelasan mengenai ajang Deaflympics, Ajun datang terengah-engah dari arah tribun menghampiri kami. “Gimana Jun?” tanya Asad memastikan. “Waduh sori nih, tutup guys”. Kata Ajun, yang nafasnya masih tersenggal. “Hmmm… benar kan”, Asad membenarkan. “Soalnya kami juga dari summer tahun lalu ingin main kesana, waktu Rusydi dan kawan-kawan berkunjung kemari. Tapi ternyata tutup. Alasannya sih karena pandemi”. Ya… sudahlah, kami pasrah untuk yang kedua kalinya. “Yaudah deh”, Awan berucap. “yuk, langsung ke lapangan aja kita kalau gitu.”

Soal teleferik dan main skating yang gagal, itu bukan masalah. Karena lima menit kemudian, kami sudah asyik bermain basket di lapangan. Tak lama kemudian, dua orang anak kecil ikut bergabung ke lapangan di tengah permainan. Dengan lugunya, mereka membagi kami menjadi dua tim dan mengawal jalannya permainan. “Omer, kau bersama mereka, aku satu tim dengan tiga orang ini, paham?” Seru salah seorang dari mereka pada temannya. Kami ikut tertawa saja mengikuti permainan mereka. Ada-ada saja kelakuan bocah.

Ternyata cukup lelah juga untuk kami mengurusi dua balita ini, karena beberapa dari kami sudah mulai ngos-ngosan dan menepi ke pinggir lapangan. Setelah mereka kembali pada keluarganya dan berpamitan, kami menyudahi permainan dan lanjut berjalan ke arah tepi menuju pesisir.

Di pantai ini kami tidak menemukan pasir yang lapang, melainkan bebatuan karang yang tersusun melindungi hantaman ombak dari Laut Hitam di utara. Beberapa kapal dagang terlihat di kejauhan, barangkali memuat komoditi ekspor-impor untuk Georgia, Rusia, Ukraina, dan negara di bagian utara lainnya. Sekilas info, kota ini juga merupakan salah satu dari 21 kota yang memiliki area perdagangan bebas di Turki. Jadi, wajar saja melihat kapal-kapal internasional ini banyak yang berlalu-lalang di wilayah perairannya.

Tak jauh dari sana, dua ekor patung singa berdiri gagah di tepi pantai bagai gerbang selamat datang. Di tengahnya, patung seorang kesatria wanita Amazon berdiri menjulang, lengkap dengan tombak dan perisainya, bak pelindung kota yang siap bertempur ke medan perang. Beberapa meter dari sana, terdapat sebuah museum desa Amazon, yang konon katanya merupakan rumah bagi para kesatria Amazon. Di dalamnya terdapat penjara bagi kaum laki-laki.

Hmmm… kenapa begitu ya? Tanyaku dalam hati. “Tahu cerita Wonder Woman kan?” tanya Asad memecah keheningan. Oh, iya! Saya langsung relate dengan semua monumen ini. Semua cerita, film, dan legenda disini. Tentang kesatria-kesatria wanita pemberani yang berasal dari Amazon, asal mula seorang Diana sang Wonder Woman. Kalian tentu tahu bukan? Desa Amazon yang merupakan tempat tersembunyi dari peradaban bumi, yang mana disana hanya terdapat kaum hawa sebagai para penghuninya. “Jadi mereka semua berasal dari Turki? Legenda tentang Amazon ini, Wonder Woman, dan semua tentang desa ini beneran ada di sini?” tanya sayabertubi. “Entahlah, begitu sih kalau kata legendanya”.

Saya benar-benar masih terkagum-kagum dengan patung yang berdiri di depan saya. Perwujudan asli dari dongeng masa kecil anak-anak di seluruh dunia. Di sekelilingnya terdapat dinding dengan relief yang bercerita, seperti di candi-candi di Jawa. Tentu saja, saya tak lupa mengambil potret setiap adegannya.

Salah satu relief di samping monumen kesatria wanita Amazon

Sisa sore itu kami habiskan menyusuri downtown kota Samsun sambil mencari makan malam. Saya melihat Gedung-gedung di sepanjang jalan, dan saya benar-benar jatuh cinta. Arsitekturnya bergaya kolonial ala Eropa timur, membuat kami seperti sedang berada di salah satu kota kecil di Ceko atau Slovakia. Semua restoran cepat saji seperti McDonald, hingga minimarket seperti A101 dibuat selaras mengikuti gaya arsitektur di sekitarnya. Asad juga tadi sempat menunjukkan kami sanggar latihan capoeiranya di sela-sela perjalanan. Katanya dia dapat gratis, dari gurunya di asrama. Lumayan juga. Saya masih mengamati gedung-gedung di kanan dan kiri. Ya tentu, sebagaimana turis pada umumnya, saya, Haikal dan Ammar terus menerus mengambil potret dari berbagai sudut di kota.

Hari yang cukup melelahkan ya bagi kami. Setelah selesai makan durum (dimanapun, kapanpun), bermain basket di pantai, dan berkeliling kota, kami kembali ke apartemen Awan. Menjelang maghrib, Ajun berpamitan pada kami, karena ia mau kembali ke asrama. Katanya harus menulis absen, setelah beberapa hari sudah tidak tinggal disana. Sebagai mantan penghuni asrama, saya paham betul kewajiban itu. Kami berterima kasih pada Ajun sudah bersedia menemani seharian. Ia minta maaf karena sepertinya besok dia tidak dapat bergabung dengan kami untuk mendaki tebing di Vezirkopru sebagai destinasi selanjutnya.

Setelah berpisah, saya bertanya pada Asad, kenapa dipanggilnya Ajun? Memang namanya Ajun, atau bagaimana? “Ajun itu singkatan Ji, dari nama aslinya Ahmad Junaedi”. “Oh… begitu…” Akhirnya terpecahkan sudah misteri kita hari ini. Percakapan random lainnya mengisi udara selama perjalanan pulang. Kami benar-benar perlu istirahat, dan harus bersiap, karena besok akan jadi perjalanan yang sangat panjang.

Bahkan bayang-bayang tebing Vezirkopru pun sudah menghampiri mimpi saya di tengah malam.

_

--

--